Rabu, 07 Juni 2017

My Depression Story - Part 1: Gagal, Gagal, dan Gagal

Lucu. Mungkin saat lihat judul entri ini, sebagian orang yang mengenal baik gue berpikir ini lucu. Lelucon. Gimana bisa Wiedha yang kayak begitu bisa mengalami kisah yang depresi? Wiedha yang kesehariannya cuma haha hihi, doesn't give a fuck for this world, yang kalau lihat dari postingan sosial medianya kayaknya hidupnya baik-baik aja. Tapi nggak, di balik setiap postingan Facebook, Instagram, dan sosial media lain yang memperlihatkan sisi gue yang bahagia dan sedang baik-baik saja, sebenarnya adalah kebalikannya.

Butuh waktu hampir satu jam untuk gue menatap laman entri blog ini sampai akhirnya gue mikir; "You know what? Let's just reveal everything!" dan mulai menulis pembukaan kisah yang terjadi selama beberapa bulan terakhir yang dialami gue yang hanya beberapa orang terdekat yang tahu kisahnya. Gue memberanikan diri menulis ini untuk setidaknya bisa membuka mata kalian pada orang-orang terdekat yang mengalami hal seperti gue, untuk menunjukkan bahwa kami yang mengalami ini butuh dukungan orang-orang terdekat, bahwa hal ini bukanlah masalah sepele yang seperti awalnya kalian pikirkan, bahwa ini adalah masalah serius yang menjadi penyebab nomor satu bunuh diri. Ya, masalah ini disebut depresi.

Ketika gue masih di bangku kuliah, gue pernah nanya ke teman gue; "Lo pernah mengalami jatuh bangun, pasang surut, atau naik turun dalam hidup lo?". Dia jawab; "Iyalah. Emangnya lo nggak, Wied?". Gue jawab nggak. Jujur, gue merasa hidup gue klise, datar, monoton dari kecil sampai lulus kuliah. Kehidupan sekolah gue dulu baik-baik aja. Dari SD, SMP, SMA bahkan sampai kuliah gue bukan yang terpintar di kelas, hanya masuk pertengahan tapi gue selalu merasa bahagia dan nggak memusingkan semuanya. Gue punya teman-teman terbaik yang selalu memanggil gue dengan panggilan kesayangan mereka, kawan bergosip, nonton, fangirling dan melakukan hal-hal gila lain. Selama itu pun gue selalu berpikir hidup gue cukup beruntung. Walaupun nilai akademik gue cukup, gue bisa masuk ke sekolah yang bagus. Dan yang paling membanggakan untuk gue adalah saat gue diterima masuk di PTN atas jerih payah gue sendiri, tanpa campur tangan dari pihak lain, murni karena nilai ujian SNMPTN lolos. Hidup gue selama itu lancar, tanpa hambatan, dan gue bahagia. Bisa dibilang hidup gue bagaikan air sungai yang mengalir. Gue hanya terbawa arus tanpa mendayungnya dan memutuskan dengan seksama jalan mana yang ingin gue pilih dan selama itu gue tidak pernah merasa ada yang salah dalam hidup gue. Mungkin karena hidup gue yang nggak pernah ada tantangan itulah yang membuat gue berjalan terlalu santai sampai tidak melihat ada batu di depan hingga gue masuk ke jurang dalam.

Kisah ini dimulai saat gue lulus kuliah dan mendapatkan gelar sarjana pada November 2015. Orang bilang saat kita terbebas dari dunia akademik, maka kita telah masuk ke dunia orang dewasa yang sebenarnya. Ketika itu kita akan menjadi orang dewasa resmi untuk pertama kalinya saat kita diberikan pilihan untuk melanjutkan hidup kita. Apa yang akan kita lakukan setelah lulus? Itu sering menjadi pertanyaan para lulusan. Apakah kita akan menjadi job seeker? Atau langsung melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi? Atau bahkan memulai sebuah keluarga? Itulah yang selama empat bulan menjadi pertanyaan yang terus-terusan menghantui gue. Tapi berhubung pilihan menikah nggak ada di dalam kamus hidup gue saat itu, maka yang menjadi pilihan adalah nomor satu dan dua. Dari bulan November sampai Februari nggak banyak yang gue lakukan, yaitu menulis novel dan blog. Di saat itu gue mampu menulis beratus-ratus lembar novel dan isian blog. Sesekali gue akan lihat lowongan-lowongan pekerjaan dan mengirimkan CV ke beberapa lowongan yang gue minati (sebagian besar yang berhubungan dengan dunia penulisan), tapi hanya sebatas itu. Gue nggak pernah datang ke job fair, bertanya ke teman-teman tentang info lowker, ataupun jungkir balik di Google mencari info apapun. Nggak pernah. Kenapa? Kenapa usaha gue untuk mendapatkan pekerjaan segitu rendahnya? Kenapa gue nggak mau berusaha sementara teman-teman gue setiap hari menginfokan lowongan kerja di grup chat hampir setiap hari? Kenapa gue selalu bungkam setiap mereka cerita dipanggil interview di sana sini sementara gue hanya mengkhayal untuk menyusun plot cerita dan novel. Apa gue nggak mau kerja? Mau banget. Tapi perasaan benci terhadap diri sendiri membuat gue terus mengurung diri untuk maju. Like I said before, gue bukanlah orang yang pintar di sekolah. Bahkan untuk pelajaran apapun tampaknya nilai-nilai tinggi nggak bersahabat sama gue. Gue nggak pernah cocok dengan urusan belajar. Kalau pun gue belajar mati-matian, gue selalu nggak beruntung saat ujian. Karena itu, gue hanya lulus dengan IPK pas-pasan. Oleh sebab itu, gue selalu menyalahkan diri gue yang bodoh ini karena tidak mampu belajar dan memiliki IPK pas-pasan sampai gue jobless seperti ini.

My Mom yang sepertinya risih melihat gue di rumah seharian dan bersikap seperti anak tak berguna dan sudah capek menyuruh gue melamar pekerjaan akhirnya menyarankan gue untuk lanjut sekolah S2. Kebimbangan gue semakin menjadi. Di satu sisi gue yakin nggak ada satu pun perusahaan yang mau mempekerjakan gue dan sisi lainnya gue benci sekolah. Gue benci sekolah bukan karena lingkungannya tapi gue tahu gue bukan orang yang berbakat dalam belajar. Gue bukan seperti adik gue yang hanya perlu belajar SKS lalu mendapat straight A. Gue juga bukan tipe orang yang sekali mendengarkan kuliah dosen lalu langsung mengerti. I'm suck at school. Semuanya yang gue lakukan di sekolah hasilnya payah! Lalu kalau gue lanjut sekolah lagi dan gue hanya mendapat nilai pas-pasan lagi, itu sama saja pemborosan waktu dan materiil. Gue nggak mau my Pap mengeluarkan uang untuk hal yang akan sia-sia belaka, untuk diri gue yang tolol ini dan cuma bisa memberikan nilai pas-pasan.

Tapi akhirnya gue memilih untuk sekolah S2 juga, karena ada sebagian dalam diri gue bilang; "Ayo, kita coba aja. Daripada di rumah terus." Gue dikasih dua pilihan: Manajemen atau Komunikasi. Sejujurnya kalau gue pribadi lebih suka belajar tentang sastra lagi seperti di S1, tapi mom bilang lebih baik gue belajar ilmu yang lebih bermanfaat. Karena gue sama sekali nggak ada minat sedikit pun pada manajemen maka gue pilih Ilmu Komunikasi, karena gue pikir kita hanya belajar tentang manusia yang sedang berkomunikasi for God sake! Jadi akhirnya pun gue mendaftar di salah satu PTN terkemuka di Indonesia pada bulan Maret, ikut ujian seleksinya yang gue yakin nggak akan lolos (karena susah banget!) di bulan April, and guess what Tuhan memang iseng: gue diterima.

Butuh beberapa menit untuk gue menatap pengumuman di layar ponsel. Gue kira gue salah baca karena gue yakin banget gue nggak bisa mengerjakan ujian masuknya. Tapi toh gue diterima. Ya sudah, lagi-lagi kita ikuti saja alurnya layaknya mengikuti arus sungai, entah ujungnya ada di mana. Maka dimulailah status gue sebagai mahasiswa S2 pada 31 Juli 2016. Gue adalah orang yang sangat tertutup terhadap orang yang tidak gue kenal. Bahkan bisa dibilang gue agak takut untuk berhubungan dengan orang baru. I won't approach you first before you approach me. Mungkin itu penyebabnya selama satu semester kuliah ini gue hanya mendapat dua orang teman. Thank God, gue berkenalan dengan satu orang teman (let's call her M) karena kita seumuran dan berasal dari prodi yang sama. Kami cepat akrab dan itu sangat menyelamatkan satu bulan awal gue di kelas itu. Tidak lama, mungkin setelah sebulan, gue akhirnya kenal dengan Kak N yang 5-6 tahun lebih tua dari gue. Saat gue bilang gue hanya punya dua teman, itu adalah M dan Kak N. I swear, cuma nomor mereka yang gue simpan di phonebook dari lima puluh orang di kelas. I was such an introvert person back then. Gue nggak pernah mengobrol dengan teman-teman lainnya selain dengan M dan Kak N. Kalau pun ketemu di lorong kelas, gue hanya akan menyunggingkan senyum sambil berpikir; "Dia pasti nggak tahu kalau gue sekelas sama dia." Gue bagaikan murid hantu, terdaftar namanya tapi tidak nampak kehadirannya. Saat di kelas gue lebih memilih diam, tidak pernah mengeluarkan suara, hanya berbicara pada teman sebelah yang biasanya diisi oleh M atau Kak N, selebihnya gue bisu. Jangankan di kelas, di grup chat kelas pun gue tidak pernah menunjukkan kehadiran gue. I was completely a silent reader.

Gue tidak mengerti apa yang membuat gue bersikap begitu. Apakah karena lingkungan kelasnya atau karena pelajarannya, gue benar-benar nggak tahu. Bicara tentang kelas, dari sudut pandang mata gue, semuanya tampak pintar but me. Setelah melewati satu bulan kuliah dengan aman, muncul perlahan yang gue sebut dengan 'Wiedha's academic curse'. Gue mulai tidak mengerti dengan pelajaran-pelajarannya dan mulai kehilangan arah. Muncul perasaan tidak suka pada mata kuliah ini itu, pada dosen yang ini itu karena beberapa alasan, dan pada teman-teman yang bisa cepat berbaur dan akrab tidak seperti gue yang penyendiri ini. Ditambah lagi sering absennya M karena beberapa alasan, satu bulan berikutnya menjadi sebuah perjuangan bagi gue.

Pada bulan Oktober, gue menyadari ada yang berubah pada tubuh gue. Siklus menstruasi gue tidak teratur sejak bulan Juli. Benar-benar kacau dan berantakan. Awalnya gue takut. Tapi ternyata ada yang lebih gue takuti lagi yang terjadi di bulan itu: kerja kelompok dan presentasi. Ketika presentasi itulah gue mengalami serangan panik pertama di depan publik dan dimulainya langkah-langkah gue ke masa terkelam dalam hidup yang menuntun gue pada serangan-serangan panik berikutnya, kecemasan, depresi, pikiran untuk bunuh diri, hingga pertolongan dari dokter.

To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

100 Questions No One Ever Asks

1. Do you sleep with your closet doors open or closed? I don't have closet.   2. Do you take the shampoos and conditioner bottles from ...